Search

Wayang Mbah Gandrung Pagung Kediri Ritual Sakral Ruwatan

Wayang Mbah Gandrung Pagung Kediri Ritual Sakral Ruwatan

Pagelaran wayang Mbah Gandrung di Desa Pagung Kecamatan Semen Kabupaten Kediri dibawakan Dalang Abdul Akat (62) (akrab disapa Mbah Akat) mengisi rangkaian prosesi ritual ruwatan di rumah warga setempat, Selasa (4/8/2020). Foto : A Rudy Hertanto

Kental suasana mistis, aroma kemenyan begitu terasa memenuhi ruangan, sejumlah sesaji juga tersedia sebagai bagian dari keseluruhan acara.

Lantunan irama musik Jawa tradisional berpadu mengiringi jalannya cerita dalam pagelaran wayang berlakon Dewi Sekartaji tersebut, diketahui hal ini telah menjadi tradisi di desa setempat.

Mbah Akat mengatakan, acara ini untuk ruwatan termasuk dilakukan bagi orang yang punya tujuan, berharap keinginan pribadinya bisa terkabul dengan memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sebagai contoh, ada pemilik rumah sebelumnya pernah bernazar (berjanji atau ujar) apabila anaknya sembuh dari sakit keras, maka dilakukan hajatan nanggap (mengadakan) wayang Mbah Gandrung.

Mbah Akat menerangkan, wayang Mbah Gandrung ditemukan dimasa lampau di era Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1447, kesakralannya terus terjaga sampai sekarang.

Penamaan wayang Mbah Gandrung, Mbah artinya pini sesepuh dan Gandrung yakni sudah menyatu atau senang.

Setahun sekali bertepatan bulan sura, wayang Mbah Gandrung seringkali digelar di balai desa setempat, masyarakat yang ingin mengikuti acara dipersilahkan, yang tidak ikut tidak apa-apa tidak ada paksaan.

Syarat menggelar wayang Mbah Gandrung, sejak adat nenek moyang secara turun-temurun ada ketentuan yang masih berlaku sampai kini.

Yaitu perangkat pagelaran berangkat dari rumah penyimpanan dengan cara dipikul tak boleh dinaikkan kendaraan, berjalan kaki menuju tempat pagelaran.

Begitu pun sebaliknya usai pagelaran, wayang kembali dimasukkan ke dalam peti dan peralatan lainnya kemudian dipikul dibawa kembali ke rumah penyimpanan berlokasi di belakang Balai Desa Pagung Kecamatan Semen Kabupaten Kediri.

Peralatan musiknya pun tak bisa ditambah atau tidak bisa dikurangi, ada kendang, gong, kenong, gambang, rebab.

Urusan sesaji kurang lebih ada 25 macam seperti pisang raja, gula, kelapa dan sebagainya yang dipakai sebagai suguh.

Mbah Akat mengaku sebagai pedalangan wayang Mbah Gandrung ke sembilan setelah Dalang Kartoyoso, Kartodimejo, Mbah Gulo, Mbah Sarwi, Mbah Ngalibon, Mbah Kasedi, Mbah Kandar, Mbah Giyar.

Joko Koentono selaku Pemerhati Wayang Gandrung asal Desa Puhsarang Kecamatan Semen Kabupaten Kediri mengungkapkan, melihat era tahun 40 an ke atas, wayang gandrung berfungsi bukan sebagai pertunjukkan.

Tetapi ruwat, reaktualisasi jadi penyegaran ulang ingatan yang lupa diruwat dirawat supaya terus segar, layaknya melepas semua ikatan yang membelenggu pikiran dan batin manusia.

Pendalaman Joko menggambarkan wayang gandrung membawa ajaran cinta (katresnan). “Disebut juga katresnan itu pitulungan (pertolongan), nah fungsi mistisnya itu pitulungan,” jelasnya.

Ruwatan bermaksud membuang aral (rintangan atau alangan), minta doa supaya aralnya dibuang, diperagakan melalui simbolisasi dalam pagelaran.

“Wayang gandrung adalah wayang Kediri, spesifik sebagai wayang ruwatan, intinya bahwa di dalam hidup itu, cinta itu penting dan di dalam cinta itu membutuhkan keberduaan,” urainya.

“Plus minus yang tidak bisa dibaca sepihak, gunung saja atau segoro saja, laki saja atau perempuan saja, ketika itu membangun harmoni maka dua-duanya harus bersenyawa (berpadu),” lanjutnya.

“Dari persenyawaan dua unsur tadi lahir lah peradaban lahir lah keberlangsungan dan seterusnya,” pungkas Joko. (A Rudy Hertanto)

INDEX